Dikala itu saya berada di puncak duniawi. Dari sekedar office boy menjadi orang nomer satu Citibank.
Bahkan
sekian puluh tahun lalu saja, saya sudah biasa naik pesawat udara yang
mewah. First class. Keluar dari Atlantik masuk Pasifik. Keliling dunia.
Orang menghormati. Secara matematika manusia, pasti sangat berbahagia.
Kemarin dihina sekarang punya segalanya. Tapi pada kenyataannya ternyata
tidak. Ketika itu hati saya kering. Hampa. Tidak punya gairah.
Satu
malam di bulan Romadhon, seorang teman mengajak untuk pergi ke rumah
yatim. Saya turuti ajakan itu bukan karena untuk meningkatkan ibadah,
tapi karena ada yang ngajak. Orang berbuka saya berbuka. Orang sholat
maghrib saya ikut sholat. Orang shalat teraweh saya ikut. Ketika ada
yang ceramah saya menyender di tembok masjid dan saya tidak tahu apa
yang dibicarakan.
Singkat cerita, hingga saya lah orang terakhir
yang pulang dari panti itu. Melangkah keluar. Saya masih bisa
membayangkan bahwa malam itu bintang begitu banyak, dan sangat indahnya.
Tapi kalo hati kita nda tenang, apalah artinya. Segala keindahan malam
itu tidak ada bekasnya. Saya hampa. Saya melangkah, hingga kaki terasa
ada yang menahan, oleh tangan kecil yang tiba tiba memeluk saya.
"Hai... siapa namamu nak".
"Nina, om".
"Nina? Nama yang cantik".
Saya berpikir pasti anak ini ingin meminta sesuatu maka dia memisah dari temannya.
"Nina, Nina mau minta apa... ?"
"Tidak om, Nina hanya mau mengantar om…"
Saya
tuntun dia keluar....sampai di dekat mobil. "Nina, Om pulang ya. Tapi
om ingin memberi kamu sesuatu. Nina minta apa? Om akan memberimu. Ayo
katakan nak."
"Benar om. Om tidak marah kalo Nina minta?"
"Tidak Nina".
"Sungguh om?"
"Iya, kamu mau minta apa Nak?"
"Om.....permintaan Nina : bolehkan Nina memangil 'ayah' pada om? Maukah om menjadi ayah Nina???
Saya terjatuh mendengar kata-kata itu. Keras saya membentur jalan.
"Nina anakku"…. Saya peluk dia. Saya cium dia. Saya terharu. Sangat terharu.
Bintang masih disana, bintang masih bertabur banyak dan tiba tiba terasa dunia begitu semarak.
Saya
bawa dia jalan-jalan malam itu. Saya sadar bahwa saya tidak boleh
membawa anak kecil ini tanpa ijin. Tapi saat itu saya rela dimarahi
banyak orang daripada kehilangan kebahagiaan berdekatan dengan Nina.
Sampe jam sebelas saya kembali ke panti.
"Nak. Anakku Nina. Sekarang ayah pulangkan kamu ya. Sekarang Nina mau minta apa bilang nak bilang...."
"Nda ayah... Nina sudah senang... "
"Nda nak. Kamu harus minta. Uang ayah banyak, nak. Ini ayah tunjukkan dompet ayah. Disini uang banyak. Kamu minta apa?...
"Nda ayah."
"Kalo kamu tidak minta ayah tidak mau datang lagi…minta lah pada ayah, Nina, ayo Nak."
"Benar ayah tidak marah?"
"Nda Nina anakku.... "
"Ayah, Nina hanya minta satu... Ayah. Nina minta foto.... "
Kecewa, berat... saya berharap permintaan itu sesuatu yang mahal...
"Foto nak..??"
"Iya ayah…"
"Foto siapa..??
"Foto ayah dan ibu…"
"buat apa Nina, anakku"
"Agar bisa Nina tunjukkan pada teman-teman Nina, kalo Nina sudah punya ayah sudah punya ibu...."
Kejadian
itulah yang mengubah saya ... bahwa segala yang saya lakukan selama ini
sia-sia saja. Saya hanya membangun semuanya untuk diri saya sendiri….
Saya lupa untuk menapaki jalan kehidupan dengan memberi.
Saya Houtman Zainal Arifin.
TTL : Kediri, 27 Juli 1950 | Alamat Rumah : Jl. Haji Buang, Ulujami Jakarta Selatan 12250 | Phone : 021-7365259
1968 – 1987 – Vice President – Citibank, N.A.
1985 - 2000 – Dosen Univ. Perbanas & Gunadarma
1987 - 1992 - Direktur, Komisaris, Audit Bank2 Swasta, Konsultan
1992 - 1998 - Finance Comptroller Grup Konglomerat
1998 - sampai sekarang - Konsultan
2002 - 2004 - Dewan Penasehat Gubenur propinsi Kalimantan Barat
Terima kasih pak Houtman, terimakasih Kubik Leadership. Apa yang telah bapak sampaikan sangat… sangat membekas bagi kami.
Diposkan oleh
Heru UTOMO
http://heruutomo-arema.blogspot.com/2009/05/workshop-kubik-leadership-ii.html